Menjadi Guru? Bukan Impian Apalagi Cita-citaku
Kata orang, mimpi itu adalah bunga tidur. Ada juga yang bilang, mimpi itu kumpulan harapan. Terkadang juga dikatakan sebagai tanda atau firasat. Bagiku, mimpi adalah sekumpulan kenangan.
Pernah enggak, bangun dari tidur terus senyum-senyum sendiri? Karena, teringat mimpi yang merupakan kenangan indah tak terlupa. Rasanya gimana? Senang bukan main pasti.
Kenangan tentang pekerjaan yang pernah saya lakoni. Yang tak pernah masuk menjadi impian apalagi cita-cita saya selama ini. Tapi, pengalaman selama menjalaninya justru menjadikan saya semakin banyak belajar.
Jadi Guru? Enggak Mungkin Lah!
Siang itu, saya masih ingat sekali. Hari Jum’at yang begitu terik. Saya sedang santai menggulir beranda kanal sosial saat telpon itu masuk ke gawai pintarku. Telpon dari seseorang yang Namanya baru saya kenal dari facebook.
“Mbak Ipeh, saya dapat info nih dari temen saya. Katanya mbak Ipeh bisa ngajar fotografi. Mau enggak, ngajar fotografi di sekolah kita?”
Saya mencerna pesan tersebut dengan waktu yang cukup lama. Bayangkan saja, menjadi fotografer yang andal saja enggak pernah. Hanya sekadar suka motret dan masih jauh dari kata sempurna apalagi mendekati sempurna.
Terus, diminta untuk mengajar anak-anak di sekolah? Tunggu, ini juga jauh dari apa yang pernah saya rencanakan dalam hidup. Tidak pernah sekalipun saya bermimpi menjadi guru apalagi punya pengalaman mengajar.
Mengajari adik saya saja, saya pasti akan kesal duluan. Enggak ada dalam impian saya untuk benar-benar mendedikasikan diri untuk mengajar. Apalagi mengajar di bidang studi yang belum pernah saya jalani sebelumnya, hanya sekadar suka enggak bisa dijadikan alasan, kan.
Kegalauan seketika menjalari tubuh saya perlahan-lahan. Membuat perut saya terasa bergolak. Tapi, obrolan dan penjelasan dari seseorang blogger yang juga seorang penulis di sebrang telpon, masih terus berlanjut. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengundang saya hari itu juga ke sekolah.
Kesan Pertamaku Saat Di Sekolah
Saya selalu yakin dan percaya, Allah sudah punya rencana untuk jalan hidupku bahkan dari sebelum saya lahir ke dunia.
Kepercayaan ini yang selalu membuat saya terkagum-kagum setiap kali dihadapi dengan takdirNya. Seperti ketika saya berjalan di bawah panas terik untuk menuju ke sekolah tempat seseorang menawarkan sebuah peluang yang tak pernah terpikirkan oleh saya.
Takdir yang siang itu juga masih membuat saya menggelengkan kepala berkali-kali. Karena, tempat sekolahnya benar-benar dekat dengan rumah saya. Cukup ditempuh dengan jalan kaki, sudah bisa dijangkau dengan waktu 10 menit saja. Can you believe it?
Tak pernah sebelumnya saya masuk ke sekolah tersebut. Hanya lewat beberapa kali saja di depannya. Karena, buat apa? Toh, waktu itu saya tak ada urusan apa-apa di sekolah tersebut. Dan, anak saya sekolah di tempat yang lain, yang juga sama dekatnya dengan tempat tinggal saya. Jadi, enggak ada alasan kuat sebelumnya untuk menginjakkan kaki di sekolah tersebut.
Ketika sampai di sana, saya sudah disambut oleh anak-anak yang sangat banyak sekali di dalam kelas. Tak hanya siswa dan siswinya, tapi juga sosok penulis dan blogger yang memintaku untuk dating serta kepala sekolahnya.
Saat itu, saya masuk perlahan ke dalam kelas sambil mencoba meredakan debaran jantung yang berlebihan, hingga membuat kaki saya gemetar. Disambut oleh tatapan siswa dan siswi juga riuhnya obrolan kecil mereka.
Tiba-tiba, sosok wanita yang banyak mengisi kelas-kelas menulis di berbagai tempat ini langsung berbicara sambil tersenyum.
“Nah, anak-anak, juga Bu Siti sebagai kepala sekolah. Ini Bu Ipeh yang insya allah mau membantu mengajar fotografi di sini.”
Ini mungkin yang disebut dengan istilah, Bagai Tersambar Petir Di Siang Hari. Tapi, jika dianalogikan dengan petir, pastinya konotasinya negatif. Saya menyebutnya, bagaikan dibangunkan terompet tahun baru saat bangun tidur di pagi hari padahal bukan tahun baru.
Padahal kedatangan saya ke sana bukan untuk menyetujui langsung. Tapi, untuk membicarakannya secara langsung. Sambil ingin menjelaskan bahwa saya sama sekali belum pernah punya pengalaman mengajar sebelumnya.
Tapi, siapa sangka, justru saya langsung dikenalkan pada semua yang hadir di kelas tersebut, sebagai seorang guru ekstrakurikurer fotografi. Seorang yang sering gugup bahkan gagap untuk berbicara di depan umum. Hanya bisa terdiam dan membelalakkan mata tanpa bisa berpikir lagi.
Setelah itu? Saya diminta untuk mengenalkan diri oleh beliau dan mengisi kelasnya langsung hari itu juga. Am I really dreaming???
Berbicara di Depan Umum Bukan Keahlianku
Sosok wanita yang memintaku mengajar di sana bernama Wylvera. Biasa dikenal sebagai Mba Wiwik. Seorang penulis terkenal, karyanya didominasi buku anak-anak. Seorang blogger yang juga aktif dalam dunia literasi.
Tak pernah sekalipun saya bermimpi mendapat kesempatan seperti ini langsung dari seseorang yang sudah terkenal dan banyak dikenal serta sering menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kemudian, menelpon seorang yang masih seorang amatir dan bukan siapa-siapa ini. Bahkan menawari sebuah kesempatan yang membuat saya harus keluar dari zona nyaman saya. Ini pasti mimpi, kan?
Begitulah yang terus berkecamuk dalam kepala saya ketika Mbak Wiwik dan Bu Siti melangkah keluar dari kelas. Meninggalkan saya Bersama anak-anak yang memandang saya di depan kelas dengan pandangan yang tak pernah bisa saya cerna dan jelaskan bagaimana.
Bukan apa-apa. Saya sedang sibuk dengan diri saya sendiri. Sibuk menata hati juga mempertahankan diri agar tidak pingsang di depan kelas. Enggak lucu pastinya, tiba-tiba calon guru mereka kemudian pingsan di depan kelas.
Terus, alasannya karena gugup dan grogi habis-habisan. Enggak…pasti enggak keren sama sekali. Sehingga saya berusaha untuk menenangkan diri, kemudian mengenalkan diri saya siapa. Meski, jujur saja, saat itu saya bahkan mempertanyakan, Who am I?
Mencoba untuk berkenalan dengan suara terpatah-patah dan terdengar seakan saya ingin menangis. Karena, memang saya tak bohong, mata saya sudah sedikit berkaca-kaca karena saya benar-benar tak sanggup berbicara di depan kelas seperti ini.
Mengenalkan pada saya tentang kenapa fotografi menjadi pilihan saya sebagai hobi. Sambil berbicara tentang impian saya untuk merekam kenangan dari tempat-tempat yang pernah saya tapaki.
Kemudian, sedikit menyematkan kutipan yang saya dapat dari guru saya saat mengikuti workshop fotografi bersama Kelas Blogger.
“Foto yang bagus adalah foto yang tidak disimpan sendiri. Dan foto yang jelek adalah foto yang disimpan sendiri tanpa diketahui orang lain.”
Maksudnya, biar saya agak sedikit terlihat keren. Meski, saya jujur dari hati, saat itu saya enggak merasa bahwa saya keren setelah saya menyampaikan kutipan tersebut. Astaga, saya benar-benar enggak tahu harus berbuat apa. Karena, sibuk memikirkan saya harus mengajarkan apa? Harus bagaimana caranya mengajar? Sungguh, saat itu saya benar-benar sibuk dengan pikiran saya sendiri.
Tak lama kemudian, setelah waktu kelas berakhir selama satu jam setengah, saya entah takt ahu berbicara apa. Bahkan, sampai sekarang saya lupa berbicara apa saja di depan kelas. Yang teringat hanya kenangan betapa grogi dan sakit perut saya karena ulah pikiran saya sendiri.
Kelas usai, saya mendapat pesan dari Mbak Wik untuk merapat ke ruang Kepala Sekolah. Di dalam ruangan, Bu Siti sudah menanti. Kami terlibat obrolan yang membuat saya tambah gemetar.
Membahas tentang betapa berterima kasihnya Bu Siti karena saya mau mengajar di sana. Kemudian, mendengarkan pengalaman Mbak Wiwik selama mengajar kelas ekstrakurikurer jurnalis. Sungguh, saya merasa saat itu adalah mimpi. Tapi, sayangnya saya enggak bisa bangun-bangun lagi, karena saya sudah bangun dan sadar.
Mengingat kenangan ini saya jadi penasaran, pernahkah pembaca mengalami sendiri bagaimana rasanya ketika harus melangkah dari zona nyaman untuk pertama kali?